Langsung ke konten utama

Sesuatu Yang Sangat Dirasakan (Day 2)

 Ini adalah tulisan gua yang ke-2. Yups, tinggal 28 hari lagi dan tantangan gua selesai. Gua udah sebut sebelumnya, kalo gua sebetulnya udah biasa nulis, makanya ketika gua nulis dengan kata-kata yang seenaknya begini, kagak liahat eyd, dsb, rasanya agak kesel, ya tapi gapapa lah, karena ini konsepnya tulisan bebas, so ya okedeh.

Gua juga gak mau banyak cencong sih, pas banget lagi ada momentum yang bagus buat tema gua yang sekarang, so ini dia -

-

SESUATU YANG SANGAT DIRASAKAN

Perasaan yang gua rasakan pagi ini, kesal - ya, sangat, bahkan bisa ketitik benci, yang langsung gua coba tenangin, ya biar gua gak bablas.

Pagi ini, kakak gua kambuh lagi. Marah-marah, ngungkit tentang masa lalu, tentang bagaimana orang tua kita bertindak saat itu, yang menurutnya kini salah, ya setelah perjakanan yang cukup lama, dan die baru bisa bicara. Sini, gua coba ceritakan berdasar apa yang gua tau dan gua pahami. dan gua yakin akan cukup menarik.

Entah keberkahan atau juga cobaan. Anak-anak bapak gua diberkahi kemampuan untuk berpikir yang cukup baik, dalam arti ini ya banyak dari kami yang memang pintar dalam pelajaran. Dimana, keluarga yang lain pun sampe sering memuji, mengagumi, dan hal-hal itu yang sebenernya gua juga kurang suka.

Kakak gua termasuk yang paling pinter, yang sedari kecil gua udeh sering denger pujian-pujian sodara buat dia, bahkan tetangga, guru ngaji, dan banyak lagi, bahwa dia emang sepinter itu. Dan itu memang valid, gua setuju, karena gua melihat langsung kepintarannya.

Semua berjalan lancar saja, sampe dia menginjak kelas 1 SMA. Dia mendapat beasiswa untuk sekolah di salah satu sekolahnya pak habibie, yang memang sekolah elit dengan anak-anak spek gahar, pinternya gila-gilaan banget, yakin dah mereka kayak anak yang dikasih serum kepintaran. Kalo tau sekolahnya, untuk pusat ada di tangerang, dan berdasar hasil tes, di masuk di pusat, yang berarti dia kini akan bertanding dengan anak-anak elit dan pinter dari seluruh indonesia.

Gua gak paham kondisi bersekolah disana, dan gua juga gak peduli hal-hal yang sifatnya berbeda dengan gua, kalo ada hal seperti itu, gua cenderung mempelajari, lalu mencoba menghindar, atau mengikuti jika mungkin, gua gak masalah terjebak dengan kondisi sedikit teman.

Mungkin, karena kerasnya keadaan disana, dihimpit oleh anak-anak elit yang keseharian dan hiburannya jelas beda, negbuat dia kaget. Terus juga kemampuan anak-anak yang jauh lebih hebat dari dia juga ngebuat dia kaget, ayng dimana di sekolah sebelumnya, dia selalu menjadi yang terhebat, lalu jatuh gak bedaya di sekolah ini.

Ditambah hal-hal lain yang sifatnya pribadi dan dia pikir terlalu keras, pikirannya mulai kacau.

Dengan orang tua yang agak konservatif saat itu, keadaan kakak gua semakin parah dengan rasa kesal di hati. Nanti akan gua beri pandangan gua untuk hal ini.

Sampe akhirnya dia kuliah di UI, wah semua orang makin-makin melihat dia sebagai orang yang pintar, atau apapun itu, gua yakin lu tau. Dia pun akhirnya meledak. Mentalnya kacau, dia bilang - sakit.

Dia jadi kacau, dengan selalu mengungkit hal-hal yang terjadi di masa lalu, tentang bagaimana dia tidak diberi kesempatan, orang tua yang konservatif, gua sebagai adek yang gak peduli, dan lainnya.

Tau yang buat gua benci banget apa? Pikirannya itu yang selalu berarah negatif, selalu nyalahin, selalu merasa sebagai korban, bngsd lah.

Gua berpikir, kalo lu masih mau menyalahkan, mau dianggap benar, silahkan, tapi ya dia harus sadar kalo hal itu gak akan membawa hidupnya kembali. Dia terus menyalahkan sikap ortu yang konservatif karena memang tidak tau akan banyak hal, lalu kini setelah dia tau tentang semua hal, dia malah menyalah-nyalahkan.

Berbicara tentang yang tidak diberi kesempatan. Gua rasa karena dia sedari dulu terlalu diam dan gak belajar untuk bicara, so kenapa dia malah marah sekarang? Semua orang berbeda? Hah itu alasannya?! Bangke lah, gua yakin tiap anak dalam kondisi yang sama selalu punya pilihan untuk bertindak. Dia pintar dan gua yakin tau bagaimana berpikir sedari kecil. Dia mungkin berpikir tentang kebebasan yang gua dapatkan, dan dia lupa kalo sedari kecil gua emang suka ngelawan, dan gua sadar itu hal salah sedari dulu, tapi ya gua hanya menunjukkan diri gua, hanya itu. Dan dia memilih untuk tetap mengikuti tiap kata orang tua, ya so itu jalanlu, ketika lu udah semakin berilmu, harusnya lu semakin sadar, dan apa? Tinggal lakukan yang bisa lu lakukan.

Terus sekarang dia terjebak dalam kebingungan. Terus berbicara untuk diapahami orang ruamh, tapi dia selalu berbicara hal berat yang emang orang tua gak paham itu, mau berapa kali pun dibicarakan, itu kan masalah banget. Sementara orang tua terus berusaha untuk memahami, dan mungkin juga intropeksi diri, dia malah semakin marah dengan dalih gak ada yang paham dan gak ada yang mau memahami, anjing! kalo orang gak mau mahamin, ngapain orang dengerin! Sialan.

Dia lupa kalo selama ini dia selalu didukung untuk tiap-tiap hal yang dia lakukan, dari sekolah sampe kuliah, sedang gua? apa-apan njir, terus dia ngerasa gak pernah didukung?

Masih lebih rumit lagi sebenernya, jika melihat dari pikiran, ya tapi kalo dari sisi yang lebih mudah gak seperti ini. Kalo tertarik untuk lanjutannya. nanti gua ceritakan.

So, itu dia tulisan hari ke-2 gua. Siapapun lu, semoga senang membaca aliran emosi ini, hehe, bye -

Bungchoi

Komentar